Di hari jadi animasi klasik Pixar yang ke 20 tahun, Nicholas Barber mencari tahu mengapa kisah Woody dan Buzz Lightyear begitu istimewa.
Ini adalah adegan yang terinspirasi oleh fiksi ilmiah Philip K Dick yang paling menakutkan. Terdampar di wilayah yang berbahaya, seorang laki-laki
menyadari bahwa semua yang dia tahu tentang dunia adalah sebuah kebohongan. Semua kenangan yang dimilikinya palsu, segala keyakinannya salah.
Dia bukanlah pahlawan seperti yang ia kira. Dia bahkan bukanlah seorang individu. Dia itu robot, dibuat dari besi dan plastik. Tujuan eksistensinya
adalah untuk menghibur penciptanya. Tak heran, Buzz Lightyear menjadi sangat depresi.
Tepat 20 tahun berlalu sejak penonton menyaksikan adegan itu di film Toy Story, film kartun berdurasi panjang pertama yang diproduksi Pixar.
Digembar-gemborkan sebagai pencapaian besar pada 1995, Toy Story kini sudah disebut karya klasik. Dan setiap studio Hollywood telah meniru inovasinya:
animasi digital yang sangat realis, dan dialog tajam yang ditulis oleh Joss Whedon, yang juga meramu Buffy / Avengers.
Tetapi elemen yang paling radikal dalam film ini, dan satu yang belum bisa ditiru oleh studio lain adalah temanya, yaitu kekecewaan – perasaan kecewa
yang timbul karena menemukan fakta bahwa sesuatu tidak sebaik yang kita sangka.
Betapa pun lucu dan mengharukannya film ini, Toy Story secara mengagumkan telah membumikan sebuah tesis, bahwa Anda tidak spesial, dan Anda tidak akan
puas kecuali Anda berani keluar dari nasib yang biasa-biasa saja.
Nilai-nilai yang cukup mengagumkan dari sebuah film kartun, yang menampilkan Tuan Berkepala Kentang.
Krisis identitas
Jika Anda belum menontonnya, saya akan bercerita sedikit. Toy Story adalah tentang mainan-mainan yang menjadi hidup ketika kita tidak melihatnya.
Tetapi, apa yang mereka paling sukai adalah ketika mereka dimainkan oleh anak-anak.
Namun tidak bagi Buzz Lightyear (disuarakan oleh Tim Allen). Sosok pasukan luar angkasa yang dimiliki bocah laki-laki bernama Andy ini percaya bahwa
dia adalah pahlawan intergalaksi betulan.
Dia menjadi mainan kesukaan Andy sehingga mengusik mainan koboi Woody (yang disuarakan Tom Hanks).
Pada akhirnya, Woody menerima Buzz, dan Buzz menerima identitasnya sebagai mainan. Akhir yang bahagia…sepertinya.
Tapi Anda lalu bertanya-tanya, jika Buzz tampak sangat ceria ketika dia mengira dia adalah pasukan luar angkasa, mengapa kita senang pada kehidupan ala
perbudakan yang harus dia hadapi nanti?
Lagipula, sejumlah adegan yang menggiring Buzz mengetahui bahwa dirinya diproduksi secara masal juga tampak menakutkan karena beberapa alasan. Ketika
itu Buzz tidak di rumah Andy yang hangat, tetapi di rumah tetangga, di mana bocah bernama Sid sibuk memotong, melelehkan, dan memperlakukan semua
mainan secara buruk. Di sini, klaim Woody yang mengatakan “menjadi mainan jauh lebih baik daripada pasukan luar angkasa” tampak seperti omong kosong
belaka.
Kedua, ada sebuah tamparan keras ketika Buzz menyaksikan iklan televisi tentang dirinya, dan melihat rak-rak toko mainan yang berisi ratusan
kembarannya yang dijual dalam kardus.
Ketiga, adalah reaksi Buzz, yang bisa dipahami, cukup berlebihan. Setelah meratap tentang bualan kosmik yang kejam tentang eksistensinya, Buzz mencopot
stiker yang menempel di lengannya – adegan yang cukup mengganggu bagi siapapun yang pernah mencopot plester dari badan mereka.
Buzz kemudian menegaskan kemerdekaannya. Dia menyatakan bahwa keputusan untuk menjadi mainan atau bukan, berada di tangannya, dan berlari menuju senja
sambil mengucapkan kalimat ikoniknya, “menuju tak terbatas, dan melampauinya!”
Namun dalam Toy Story opsi itu tidak diulas lebih jauh, Buzz langsung menyingkirkan pikiran tentang menyelamatkan galaksi di belakangnya, dan kembali
ke pemiliknya, Andy.
Jika pesan dari kebanyakan film Hollywood adalah, “Kamu bisa menjadi apapun yang kamu impikan”, pesan dari Toy Story adalah, “tidak, kamu tidak bisa.”
‘Jatuh dengan apik’
Itu adalah pesan luar biasa dewasa bahkan dalam sebuah film aksi. Toy Story membuat tren Pixar dalam menciptakan kartun untuk dewasa, bukan untuk anak.
Pada 1995, Toy Story menjadi pionir bagi tren tersebut.
Jika kita membicarakan film Disney di luar dongeng putri kerajaan, karakter utama yang menjadi favorit adalah pra-remaja: Pinocchio, Dumbo, Alice in
Wonderland, Peterpan, Mowgli dalam film Jungle Book, Simba di Lion King (yang muncul setahun sebelum Toy Story).
Ada tokoh-tokoh dewasa dalam film-film tersebut, tetapi umumnya hanya sebagai peran pembantu saja. Toy Story membalikkan tradisi ini.
Kita jarang sekali melihat Andy, pemilik Buzz dan mainan lainnya, dan ketika kita melihatnya, dia akan tampak seperti raksasa.
Karakter utamanya, pada kenyataannya mencerminkan sikap orang tua, yang hanya ingin membahagiakan Andy, bahkan ketika mengetahui bahwa dia akan
beranjak dewasa dan meninggalkan mereka.
Si jenius John Lasseter, sutradara Toy Story dan sekaligus kepala kreatif Pixar, ingin memikat jutaan anak-anak dengan film tentang bagaimana sulitnya
dan tak berpamrihnya kehidupan ibu dan ayah mereka.
Tema ini paling terasa dalam Toy Story dan dua film lanjutan yang memilukan hati, tetapi juga tersirat dalam film-film Pixar selanjutnya.
Finding Nemo didasari kegelisahan ayah Nemo, orang tua tunggal yang mengantar anaknya ke sekolah. Di film Monsters, Inc., Sulley dan Mike adalah
pekerja biasa yang bekerja di pabrik tiap pagi, dan anak di film itu, Boo, adalah masalah yang harus mereka hadapi.
Pada film Up, Carl Fredricksen adalah seorang duda tua renta dalam kepahitan hidup, yang tidak pernah merasakan petualangan mengelilingi dunia yang dia
dan mendiang istrinya pernah rencanakan. Dia, pada akhirnya, juga harus berurusan dengan anak kecil yang harus diurus.
Dan ada The Incredibles, Tuan Incredible terpaksa meninggalkan profesi sebagai pahlawan super dan mencari pekerjaan di perusahaan.
Film ini juga mengatakan banyak hal tentang pemikiran Pixar melalui satu karakter yang mencoba mewujudkan mimpi masa kecilnya, bernama Syndrome, tokoh
jahat yang berakhir dihisap oleh mesin jet.
Kesalahan Syndrome, yang mungkin dapat diungkapkan Buzz kepadanya, adalah berpikir bahwa dia bisa terbang, padahal tidak. Lantas, hal terbaik yang bisa
kita harapkan adalah dia bisa ‘jatuh dengan apik’.
Film terbaru Pixar, The Good Dinosaur, mungkin adalah film pertama yang tidak mengangkat kekecewaan orang dewasa, karena pahlawannya adalah bocah
laki-laki, walau itu adalah dinoasurus.
Tetapi film lain yang juga dirilis pada 2015, Inside Out, tetap memiliki perspektif itu. Di satu level, Inside Out memang menceritakan tentang masa
pra-remaja dari bocah berusia 11 tahun bernama Riley, yang mengeksplorasi dunia seperti Bambi atau Pinocchio.
Tetapi tidak seperti Bambi atau Pinocchio, sosok Riley sendiri didorong sebagai latar saja, bukan yang utama.
Karakter yang utama, adalah figur orang tua yang digambarkan sebagai emosi-emosi yang sangat perhatian pada anak ini.
Dan apa saja emosi itu? Menurut Inside Out, setiap manusia memiliki lima emosi utama, yaitu bahagia, sedih, takut, marah, dan jijik. Mendiang Ingmar
Bergman, sutradara terkenal yang ahli mengemukakan psikologi realisme, saya pikir, mungkin menganggap citraan psikologi ini terlalu gelap.
Tetapi, Bergman dan mungkin sutradara sekaligus penulis lain mungkin akan bangga dengan pelajaran utama film ini: bahwa setiap orang menderita di satu
waktu, dan itu tidak masalah. Itulah inti dari masa dewasa.
Banyak penonton menitikkan air mata ketika Riley belajar hal itu di Inside Out. Tetapi Buzz Lightyear sudah mengetahui hal itu di Toy Story sejak 20
tahun lalu.
Anda bisa membaca artikel ini dalam bahasa Inggris berjudulThe dark side of Toy Story atau artikel lain di BBC Culture